Apa itu PTKP? Sederhananya, PTKP merupakan kepanjangan dari Penghasilan Tidak Kena Pajak. PTKP adalah batasan nominal tertentu dari pendapatan Wajib Pajak yang tidak dikenakan pajak. PTKP dapat menjadi acuan dasar untuk perhitungan PPh 21. Di tahun 2023 ini, pemerintah pun telah memberlakukan aturan PTKP baru. Pengaturan PTKP yang baru tersebut bertujuan untuk menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal. Sejak diterapkannya peraturan mengenai PPh tahun 1983 silam, tercatat pemerintah telah merevisi besaran PTKP sebanyak delapan kali. Kenaikan PTKP yang terbesar mungkin terjadi pada 2005, di mana besaran PTKP yang ditetapkan pemerintah kala itu sebesar Rp12 juta.

Penyesuaian PTKP yang cukup tinggi juga selama beberapa tahun terakhir terjadi sebanyak tiga kali, yakni pada tahun 2013, 2015 dan 2016. Terlihat dari besaran kenaikan PTKP 2013 yang mencapai 53,4% dari Rp15,84 juta menjadi Rp24,3 juta. Pada 2015, dengan kenaikan mencapai 48,14% dibanding PTKP 2013. Besaran PTKP 2015 tercatat sebesar Rp 36 juta. Setahun berselang, PTKP kembali naik 50% menjadi Rp 54 juta. Besaran PTKP sebesar Rp 54 juta ini bertahan hingga sekarang. Lantas, bagaimana cara menghitung PTKP itu sendiri? Berikut ini pemaparan lengkap dari tim Qoala.

Apa Itu Pajak Penghasilan?

Apa Itu Pajak Penghasilan
Sumber Foto: RenataP Via Shutterstock

Seperti diketahui bahwa pajak penghasilan mulanya diterapkan pada perusahaan perkebunan yang menyebar dan banyak didirikan di Indonesia. Tetapi saat ini, pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri. Penghasilan yang dimaksud meliputi usaha, gaji, hadiah, honorarium, dan lain sebagainya.

Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam perkembangannya, udang-undang ini telah mengalami 4 (empat) kali perubahan, yaitu:

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai Pajak Penghasilan;

Selain itu, ketentuan terbaru tentang PPh telah disempurnakan dan diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 17 ayat (1) UU HPP bahwa besarnya tarif pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (PPh 21) adalah sebagai berikut:

  • 5% untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 60.000.000.
  • 15% untuk penghasilan diatas Rp 60.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000.
  • 25% untuk penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.
  • 30% untuk penghasilan di atas Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 5.000.0000.0000
  • 35% untuk penghasilan di atas Rp 5.000.000.000
  • Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan dengan tarif yang lebih tinggi.

Seperti yang diketahui, pajak mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Pajak merupakan iuran wajib kepada negara oleh warga negara untuk kepentingan umum yang bersifat memaksa. Manfaat membayar pajak memang tidak bisa dirasakan secara langsung. Pajak memiliki peranan yang signifikan dalam bernegara terutama pada pembangunan.

Hakikatnya, pajak merupakan bagian dari hak dan kewajiban hidup sebagai warga negara di Indonesia. Ada berbagai jenis pajak seperti misalnya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea materai (BM), pajak bumi dan bangunan (PBB). Sekarang saya akan membahas tentang PPh, atau sering disebut pajak penghasilan.

PPh atau pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Penghasilan yang dimaksud dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan yang lainnya. Adapun beberapa jenis PPh seperti PPh pasal 15, PPh pasal 19, PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25, PPh pasal 26, PPh pasal 29 dan PPh final pasal 4 ayat 2. Di Indonesia pajak penghasilan awalnya diterapkan pada perusahaan perkebunan yang banyak didirikan di Indonesia. Pajak tersebut ditanamkan dengan pajak perseroan (PPs).

Perlu diketahui, pajak perseroan adalah pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan dan diberlakukan pada tahun 1925. Setelah pajak hanya dikenakan untuk perusahaan yang didirikan di Indonesia, berangsur-angsur akhirnya diterapkan pula pajak yang dikenakan untuk perorangan atau karyawan yang bekerja di suatu perusahaan.

Pada tahun 1932 diberlakukan yang disebut ordonansi pajak pendapatan. Ordonansi pendapatan ini dikenakan untuk orang Indonesia maupun orang yang bukan penduduk Indonesia tetapi memiliki pendapatan di Indonesia. Pada tahun 1935 diberlakukan ordonansi pajak upah yang mengharuskan majikan memotong gaji atau upah pegawai untuk membayar pajak atas gaji yang diterima.

Dasar pengenaan pajak atau DPP adalah dasar pengenaan pajak yang diperoleh dari penghasilan kena pajak dari wajib pajak penerima penghasilan. Dasar pengenaan pajak dan pemotong PPh pasal 21 adalah penghasilan kena pajak bagi pegawai tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar bulanan, bukan pegawai. Wajib pajak yang dimaksud adalah yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tarif PPh pasal 21 dipotong dari jumlah penghasilan kena pajak (PKP) yang dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh. Tarif PPh bersifat progresif yang artinya semakin tinggi pengasilan yang diterima maka akan dikenakan lapis tarif lebih tinggi.

Penyetoran pajak penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan pembayarannya paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Saat ini, untuk membayar pajak tidak hanya bisa dilakukan dengan cara menyetor langsung melainkan sudah bisa dibayar secara online. Dengan membayar pajak secara online memudahkan bagi wajib pajak untuk membayarnya karena tidak perlu antre dan menunggu lama.

Adapun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menjadi subjek pajak adalah sebagai berikut:

  1. Subjek pajak pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia, dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi, yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
  3. Subjek pajak badan, yakni badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
  • Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  • Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
  • Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
  • Bentuk usaha tetap (BUT), yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Kemudian setelah mengetahui siapa saja yang menjadi subjek Pajak Penghasilan, maka kita juga perlu tahu siapa sajakah yang termasuk kriteria bukan subjek pajak. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, berikut merupakan subjek pajak:

  1. Badan Perwakilan Negara Asing.
  2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia (WNI) dan negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik.
  3. Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tesebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
  4. Pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Pengertian Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)

Secara umum, wajib pajak pribadi dan wajib pajak badan dibedakan berdasarkan subjek pajak dan objek pajaknya. Wajib pajak orang pribadi terbagi dua, yaitu wajib pajak subjek dalam negeri dan wajib pajak subjek luar negeri. Wajib pajak orang pribadi melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan.

Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah penghasilan yang merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh orang pribadi, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Subjek PPh Badan merupakan Badan Usaha yang diberikan kewajiban untuk membayar pajak dalam periode bulan atau tahun dan disetor ke kas negara. Sedangkan, objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Penghasilan sebagai objek PPh dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Sementara, WP orang pribadi sendiri adalah wajib pajak perorangan yaitu bukan badan usaha, atau badan hukum. Wajib pajak orang pribadi merupakan laki-laki maupun wanita, baik yang sudah atau belum menikah. Ketentuan khusus mengenai perpajakan wajib pajak orang pribadi wanita yang sudah menikah dan sebuah keluarga diatur oleh pasal 8 UU PPh (berikan penjelasan tentang pasal 8 UU PPh.

Status Perhitungan Pajak Suami Istri

  • Hidup Berpisah (HB): Wanita yang menikah dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan putusan hakim.
  • Pisah Harta (PH): Suami-istri yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis.
  • Memilih Terpisah (MT): Wanita yang menikah (selain kategori Hidup Berpisah dan Pisah Harta) dikenai pajak secara terpisah karena memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya.
  • Warisan Belum Terbagi (WBT): Sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris.

Secara umum, WP Orang Pribadi hanya berkewajiban untuk membayar pajak terutang berdasarkan penghasilan yang diterima, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 17. WP orang pribadi yang menjalankan usaha sendiri, bisa juga diwajibkan untuk melakukan kewajiban pajak penghasilan pasal 21, pasal 23, dan pasal 4 ayat 2. Sehingga atas pembayaran kepada pihak lain wajib dipotong dan dilaporkan pajaknya oleh wajib pajak orang pribadi tersebut. WP orang pribadi yang melakukan kegiatan impor juga dikenakan pajak penghasilan pasal 22 atas transaksi impor barang. WP orang pribadi bisa juga diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai, apabila memenuhi syarat menjadi pengusaha kena pajak (PKP).

Pengertian Wajib Pajak Badan

Sedangkan, wajib pajak badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nama dan dalam bentuk apapun firma, koperasi, dana pension, persekutuan, yayasan, organisasi, lembaga atau bentuk yang lainnya. Setiap Wajib Pajak Badan mendaftarkan badan dan memiliki NPWP badan. Jumlah wajib pajak badan yang terdaftar pada KPP Pratama Jakarta Cakung Satu sebanyak 3.876 WP Badan. Adapun kategori dari WP badan, diantaranya:

  • Badan: Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Badan yang dimaksud dapat berbentuk badan usaha diantaranya perseroan terbatas, firma, cv, dan persekutuan perdata.
  • Joint Operation: Bentuk kerja sama operasi yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.
  • Kantor Perwakilan Perusahaan Asing: WP perwakilan dagang asing atau kantor perwakilan perusahaan asing (representative office/liaison office) di Indonesia.
  • Bendahara: Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dan diwajibkan melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
  • Penyelenggara Kegiatan: Pihak selain empat WP badan sebelumnya yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan. Penyelenggara kegiatan diantaranya adalah penyelenggara kegiatan perlombaan olahraga atau kegiatan atau acara lainnya.

Berbeda dengan WP Pribadi, untuk WP Badan kewajiban pajak diantaranya adalah sebagai berikut:

Pajak Penghasilan Badan

WP Badan wajib melakukan pencatatan atau pembukuan, menyampaikan penghasilan atau laporan keuangan, menghitung pajak terutang dari penghasilan kena pajak sesuai ketentuan pajak, membayar pajak terutang dan melaporkan SPT Pajak Badan Tahunan dikurangi kredit pajak (dari yang sudah dibayar sendiri yaitu PPh pasal 25 dan pasal 22, dan juga dari yang dipotong oleh pihak lain yaitu pasal 23 atau pasal 15). Pajak penghasilan badan dapat dihitung dengan menggunakan tarif umum pasal 17 UU PPh atau jika memenuhi kriteria tertentu dapat menggunakan ketentuan pajak penghasilan final sesuai dengan ketentuan PMK 23 tahun 2018.

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) 

WP Badan wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang dibayarkan oleh WP Badan tersebut. WP badan wajib melakukan pemotongan, pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dipotong kepada negara.

Pajak Penghasilan Pasal 23

WP Badan wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri terkait dengan royalti, dividen, bunga dan jasa yang dibayarkan oleh WP Badan tersebut. WP badan wajib melakukan pemotongan, pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dipotong kepada negara setiap bulannya.

Pajak Penghasilan Pasal 26

WP Badan wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri terkait pengeluaran atas royalti, dividen, bunga, dan sewa yang dibayarkan oleh WP badan tersebut. WP badan wajib melakukan pemotongan, pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dipotong kepada negara setiap bulannya.

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2

WP Badan wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh pihak lain diantaranya terkait sewa selain tanah dan bangunan dan jasa yang dibayarkan oleh WP badan tersebut. WP badan wajib melakukan pemotongan, pelaporan dan pembayaran pajak yang telah dipotong kepada negara setiap bulannya.

PPN dan PPnBM

WP Badan wajib mengenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan/atau PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) atas penjualannya apabila memenuhi kriteria sebagai pengusaha kena pajak sesuai dengan UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Pemungutan PPN dilakukan setiap kali transaksi, dan pajaknya wajib dibayarkan dan dilaporkan secara bulanan (SPT Masa).

Pada umumnya, perhitungan tarif pajak penghasilan badan adalah 25% dari Penghasilan Kena Pajak. Jumlah ini telah diatur dalam peraturan pajak sehingga setiap badan usaha wajib mematuhi dan dengan cermat menghitung pajak yang harus dibayarkan agar menjadi badan usaha yang patuh terhadap peraturan wajib pajak badan usaha. Untuk menghitung PPh Badan ini memiliki beberapa cara, karena itu kamu perlu mengetahui cara menghitung pajak penghasilan agar dapat mengelola pajak secara benar:

PT XYZ mendapatkan penghasilan kotor senilai Rp2 miliar, maka besaran pajak penghasilan dari PT XYZ yaitu:

50% x 25% x Rp5 Miliar = Rp625 juta

Namun selama periode tahun 2019, PT XYZ telah menyetorkan pajak penghasilan karyawan ke kas negara senilai Rp100 juta dan pajak PPh pasal 23 senilai Rp200 juta. Maka, pajak penghasilan terutan PT. XYZ yaitu:

Rp625 juta – Rp100 juta – Rp200 juta = Rp325 juta

Rp325 juta merupakan angka bisa dicicil oleh PT. XYZ ke kas negara atas penghasilan badan usaha di tahun 2019. Karenanya, jumlah di atas adalah sisa pajak yang harus dibayarkan PT. XYZ di tahun 2019. Pajak tersebut dapat dicicil dengan meminta persetujuan dari kantor pajak setempat.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Untuk melakukan perhitungan PPh 21, kamu harus tahu terlebih dulu bahwa pajak penghasilan bersifat progresif. Oleh karena itu, sebelum masuk pada perhitungan, kamu perlu mengetahui lapis tarif PPh yang dikenakan pada wajib pajak. Peraturan pajak penghasilan progresif di tahun 2023 tertuang dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

  1. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp60.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 5 persen.
  2. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp60.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 dikenakan tarif sebesar 15%.
  3. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 25%.
  4. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000 – Rp5.000.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 30%.
  5. Sementara itu, WP dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan pajak penghasilan tarif baru yaitu 35%.

Metode Nett

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6, perhitungan pajak penghasilan pribadi ditentukan oleh pendapatan beserta tunjangan yang didapatkan selama setahun. Keseluruhan pendapatan tersebut dinamakan penghasilan kotor atau bruto. Kemudian kamu harus mengetahui berapa penghasilan bersihnya. Caranya adalah mengurangi total penghasilan kotor dengan biaya-biaya wajib, termasuk kredit, biaya pensiun, atau hutang lainnya. Dengan kata lain, rumus menghitung penghasilan bersih adalah:

Penghasilan bersih (netto) = Total penghasilan kotor (bruto) – Biaya wajib

Metode Bruto

Jika karyawan menanggung sendiri pajak penghasilannya, maka metode gross ini bisa digunakan. Lalu, bagaimana contoh perhitungan PPh 21 menggunakan metode gross ini? Misalnya, ada seorang karyawan yang memiliki gaji per bulan Rp11.000.000, statusnya lajang tanpa tanggungan (PTKP TK/0).

Langkah 1: Pendapatan bruto – biaya jabatan = Pendapatan nett

Rp11.000.000 – (5% x Rp11.000.000) = Rp10.450.000

Langkah 2: Penghasilan nett bulanan x 12 = Penghasilan nett per tahun

Rp10.450.000 x 12 = Rp125.400.000

Langkah 3: Penghasilan nett setahun – PTKP TK/0 = Penghasilan Kena Pajak

Rp125.400.000 – Rp54.000.000 = Rp71.400.000

Langkah 4: Contoh perhitungan PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif

(5% x Rp60.000.000) + (15% x Rp11.400.00) = Rp4.710.000

Langkah 5: Contoh perhitungan PPh 21 Terutang Sebulan

Rp5.710.000 :12 bulan = Rp392.500

Elemen dalam Potongan Pajak Penghasilan Pasal 21

Seperti pungutan pajak lainnya, dalam pemungutan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 terdapat elemen penting. Dimana elemen-elemen penting dalam potongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21, diantaranya:

  • Biaya Jabatan yaitu pengeluaran atau biaya yang berhubungan dengan pekerjaan dalam satu tahun pajak. Dimana besaran biaya jabatan PPh pasal 21 yakni 5% dari penghasilan bruto dalam setahun. Dengan nominal maksimal Rp500.000 sebulan atau Rp6.000.000 setahun.
  • Biaya Pensiun dengan besaran yang ditetapkan 5% dari penghasilan bruto. Dan nilai maksimal sebesar Rp200.000 per bulan atau Rp2.400.000 per tahun.
  • BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
  • Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan jumlah upah pekerja (penghasilan) yang akan dikenakan potongan PPh pasal 21. Dimana penghasilan tersebut telah dikalkulasikan dengan tunjangan karyawan, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, dan unsur lainnya. Unsur-unsur kalkulasi tersebut kemudian menjadi dasar perhitungan yang diperlukan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan (PPh). Yang mana merupakan pajak terutang yang harus dibayarkan oleh wajib pajak (WP).
  • Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) yaitu mengurangi jumlah nilai penghasilan bruto. Dimana PTKP dikurangkan dari penghasilan bruto yang diperoleh wajib pajak yang mana tidak dikenakan pajak.

Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto merupakan jumlah penghasilan kotor yang dimiliki oleh seseorang sebagai upah atas pekerjaannya. Total akan dihitung berdasarkan akumulasi dari pendapatan selama satu tahun. Penghasilan bruto ini penanda bahwa penghasilan yang dihitung tidak hanya berasal dari satu sumber. Sederhananya, penghasilan bruto adalah penghitungan setiap bentuk pendapatan atau penghasilan dari seseorang selama satu tahun.

Pendapatan yang dihitung sifatnya fleksibel sehingga sumber penghasilan bisa dari gaji tetap maupun wirausaha. Jadi, cara penghitungannya pun berdasarkan gaji yang diterima dari setiap bentuk pekerjaan. Penghasilan bruto ini terbagi menjadi 2 jenis, yakni bersifat rutin dan tidak rutin. Rutin berarti penghasilan yang mengacu pada besaran gaji pokok serta tunjangan yang diterima. Sedangkan tidak rutin berarti pendapatan yang perolehannya tidak tentu. Misalnya, Tunjangan Hari Raya (THR) dan bonus. Regulasi yang digunakan akan penghasilan bruto ini ada beberapa, yakni:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Bicara tentang elemen atau komponen penghasilan bruto, akan selalu erat kaitannya dengan perpajakan. Pengertian penghasilan bruto sendiri menurut ketentuan pajak merupakan jumlah seluruh penghasilan yang diterima wajib pajak sehubungan dengan pekerjaannya selama Tahun Pajak yang bersangkutan dari setiap pemberi pekerjaan. Penghasilan tersebut bisa berupa gaji, uang pensiun, tunjangan, dan lain-lain. Berikut ini simak penjelasan selengkapnya apa saja elemen atau komponen yang dimaksud.

Gaji, Uang Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua (THT)

Seperti judulnya, gaji/uang pensiun/THT yang diterima secara teratur selama Tahun Pajak yang bersangkutan menjadi elemen penghasilan bruto yang pertama.

Tunjangan PPh

Tunjangan PPh merupakan tunjangan pajak penghasilan yang diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.

Tunjangan Lainnya, Uang Lembur, Penggantian, dll

Ini merupakan tunjangan yang diterima dalam Tahun Pajak yang bersangkutan yang isinya bisa berupa:

  • Tunjangan istri dan/atau anak
  • Tunjangan jabatan
  • Tunjangan khusus
  • Tunjangan transportasi
  • Tunjangan pendidikan anak
  • Uang imbalan prestasi
  • Tunjangan lainnya dengan nama apapun
  • Uang penggantian pengobatan
  • Uang lembur
  • Dll.

Honorarium dan/atau Imbalan Sejenisnya

Honorarium merupakan imbalan atas jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukan yang bersangkutan.

Premi Asuransi yang Dibayar Pemberi Kerja

Bisa berupa premi asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan pemberi kerja kepada perusahaan asuransi atau penyelenggara Jamsostek dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.

Natura dan Lainnya yang Dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21

Ini merupakan jumlah yang sebenarnya diterima dari pemberi kerja yang tidak wajib memotong PPh Pasal 21, dan bukan Wajib Pajak namun tidak dikecualikan untuk memotong PPh 21 sehubungan dengan pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan lainnya dalam masa Tahun Pajak yang bersangkutan.

Tantiem, Gratifikasi, Bonus, Jasa Produksi, serta THR

Komponen ini merupakan tantiem, gratifikasi, bonus, jasa produksi, THR, dan penghasilan sejenis yang bersifat tidak tetap dan mungkin diberikan hanya sekali dalam setahun yang diterima aau diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.

Penting untuk diingat, ada beberapa hal yang perlu diketahui sebelum melakukan penghitungan penghasilan bruto yakni total penghasilan brutonya sendiri dalam satu bulan. Berikut ini langkah sederhana contoh penghitungan penghasilan bruto.

  • Setelah seluruh total penghasilan bruto diketahui selama 1 bulan, selanjutnya, kurangi total penghasilan dengan biaya atau kewajiban yang perlu dibayar.
  • Sisa dari pengurangan merupakan pendapatan penghasilan bersih. Kemudian, kalikan dengan 12 bulan sehingga dapat diperoleh penghasilan bersih selama 1 tahun.
  • Tentukan status wajib pajak:
    • TK (tidak kawin)
    • K (kawin)
  • Selanjutnya, jumlahkan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Contoh: Bapak Adi bekerja di sebuah perusahaan XYZ dengan gaji yang diperoleh sebesar Rp8.000.000. Ia merupakan kepala keluarga namun belum memiliki anak. Maka status wajib pajaknya adalah K/0.Setiap bulannya, gaji Bapak Adi dipotong sejumlah biaya lainnya dan tunjangan, sehingga gaji Bapak Adi menjadi Rp7.000.000/bulan. Maka, penghasilan bersih Pak Adi selama satu tahun adalah Rp84.000.000.

Karena status wajib pajak Pak Adi adalah K/0, maka nominalnya akan ditambahkan dengan Rp4.500.000 dan total menjadi Rp88.500.000. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk status K/0 adalah Rp58.500.000. Maka, penghasilan bruto Pak Adi adalah Rp88.500.000 – Rp58.500.000 = Rp30.000.000.

Selain itu, berangkat dari Pasal 9 Undang-Undang PPh, pengeluaran perusahan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya secara fiskal adalah sebagai berikut:

  1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, salah satunya seperti dividen. Termasuk dividen yang dibayarkan perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
  2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
  3. Pembentukan dan cadangan dengan syarat tertentu.
  4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jida, asuransi wiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut akan dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
  5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan & minuman untuk seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan ke pemegang saham atau ke pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan terkait dengan pekerjaan yang dilakukan.
  7. Harta yang dihibahkan, sumbangan/bantuan, dan warisan.
  8. Pajak Penghasilan
  9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
  10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
  11. Sanksi administrasi seperti bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan UU bidang perpajakan.

Penghasilan Netto

Penghasilan netto adalah penghasilan bruto yang sudah dikurangi dengan iuran pensiun, tunjangan hari tua, serta biaya jabatan. Jadi, bisa dibilang bahwa penghasilan netto merupakan penghasilan bersih yang diterima seseorang setiap bulannya. Nama lain penghasilan netto adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP) karena biasanya dijadikan dasar perhitungan untuk Pajak Penghasilan (PPh)

Bagi seseorang yang telah bekerja dan menerima penghasilan, maka ia akan memiliki tanggung jawab perpajakan, dalam hal ini Pajak Penghasilan (PPh). Dasar perhitungan dari PPh tersebut memerlukan data penghasilan netto. Untuk bisa memandu masyarakat dalam pelaporan tersebut, dikeluarkanlah Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN)

Norma Perhitungan Penghasilan Netto adalah suatu angka yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai perkiraan persentase penghasilan netto terhadap peredaran bruto. Informasi ini dapat digunakan untuk menghitung pendapatan yang tidak kena pajak. Berikut beberapa aturan terkait norma perhitungan penghasilan netto. Secara umum, rumus penghasilan neto adalah sebagai berikut.

Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan

Untuk bisa lebih memahami cara menggunakan rumus penghasilan netto di atas, simak contoh cara menghitung penghasilan netto berikut ini.

Cara Menghitung Penghasilan Netto Sebulan

Penghasilan netto sebulan bisa diperoleh dengan mengurangkan penghasilan bruto selama 1 bulan dengan biaya jabatan disertai segala iuran-iuran. Contoh iuran yang biasa digunakan adalah iuran jaminan hari tua, iuran pensiun, dan lain-lain.

Sebagai contohnya, Pak Adi menerima gaji bulanan sebesar Rp15.000.000 dengan biaya jabatan sebesar Rp500.000 dan Rp150.000 yang dipotong tiap bulannya. Berapa penghasilan neto Pak Adi dalam sebulan?

Dengan menggunakan rumus sebelumnya,

Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan

Penghasilan Netto = Rp15.000.000 – (Rp500.000 + Rp150.000)

Penghasilan Netto = Rp14.350.000/bulan

Cara Menghitung Penghasilan Netto Setahun

Sementara itu, cara menghitung penghasilan netto setahun adalah dengan mengurangkan penghasilan bruto 1 tahun dengan iuran tahunan. Apabila dengan menggunakan data diatas dan tidak terdapat iuran tahunan lain, maka

Penghasilan Netto Setahun = Penghasilan Netto/Bulan x 12 bulan

Penghasilan Netto Setahun = Rp14.350.000 x 12

Penghasilan Netto Setahun = Rp172.200.000

Penghasilan Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak
Sumber Foto: Yavdat Via Shutterstock

Definisi Penghasilan Tidak Kena Pajak atau PTKP adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena PPh Pasal 21 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Dengan kata lain, jika penghasilan bulanan seseorang tidak mencapai ambang batas PTKP maka tidak wajib bayar pajak. Meskipun demikian, wajib pajak harus tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan. Ketentuan ini bersifat wajib, hingga wajib pajak mendapatkan status Non-Efektif (NE) dari Ditjen Pajak.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bertujuan untuk meringankan masyarakat menengah ke bawah yang memiliki penghasilan di bawah batas PTKP. Hal ini karena pada dasarnya, pajak penghasilan tidak dibebankan kepada seluruh wajib pajak penerima penghasilan. Pajak penghasilan hanya dibebankan bagi Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Besar Jumlah PTKP

Dasar hukum penentuan tarif PTKP 2019 adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016. Sementara secara detail cara menghitungnya dijelaskan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016. Penetapan tarif PTKP pegawai tidak tetap diatur dalam PMK No. 102/PMK.010/2016. Artinya, tarif PTKP tidak berubah sejak tahun 2016. Berikut ini adalah tarif PTKP yang berlaku sejak tahun 2016 hingga sekarang:

  • Wajib pajak pribadi berstatus tanpa tanggungan Rp54.000.000
  • Penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami Rp54.000.000
  • Wajib pajak pribadi yang berstatus kawin mendapat tambahan Rp4.500.000
  • Tambahan Rp4.500.000 untuk setiap anggota keluarga sedarah yang menjadi tanggungan, maksimal 3 tanggungan
Laki-Laki/Perempuan Lajang Laki-Laki Kawin Penghasilan Suami Istri Digabung
Kode PTKP Tarif PTKP Kode PTKP Tarif PTKP Kode PTKP Tarif PTKP
TK/0 Rp54.000.000 TK/0 Rp58.500.000 K/1/0 Rp112.500.000
TK/1 Rp58.500.000 K/1 Rp63.000.000 K/1/1 Rp117.000.000
TK/2 Rp63.000.000 K/2 Rp67.500.000 K/1/2 Rp121.500.000
TK/3 Rp67.500.000 K/3 Rp72.000.000 K/1/3 Rp126.000.000

Selain tarif PTKP, dikenal juga status PTKP yang ditulis dalam kode-kode seperti TK/0 maupun K/1. Apakah arti dari masing-masing kode PTKP tersebut? Berikut penjelasannya:

Status Lajang

  • TK/0 artinya seorang laki-laki/perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki tanggungan
  • TK/1 artinya seorang laki-laki/perempuan yang belum menikah namun memiliki satu tanggungan
  • TK/2 artinya belum menikah dan memiliki dua orang tanggungan
  • TK/3 artinya belum menikah dan memiliki tiga orang tanggungan

Status Kawin

  • TK/0 artinya telah menikah dan tidak memiliki tanggungan
  • K/1 artinya telah menikah dan memiliki satu tanggungan
  • K/2 artinya telah menikah dan memiliki dua tanggungan
  • K/3 artinya telah menikah dan memiliki tiga tanggungan

Status PTKP Digabung

  • K/1/0 artinya adalah penghasilan suami dan istri digabung serta tidak memiliki tanggungan
  • K/1/1 artinya penghasilan suami dan istri digabung dengan memiliki satu tanggungan
  • K/1/2 artinya adalah penghasilan suami istri digabung serta memiliki dua tanggungan
  • K/1/3 artinya penghasilan suami istri digabung serta memiliki tiga tanggungan

Setelah mengetahui penjelasan mengenai apa itu PTKP, kini saatnya melakukan simulasi perhitungan PTKP. Contohnya sebagai berikut:

Saat Adi belum menikah, besaran PTKP adalah Rp54.000.000 dengan kode PTKP TK/0 namun saat Adi sudah menikah, maka besarannya menjadi Rp58.500.000. Dengan kode PTKP K/0 begitu pula jika Adi nantinya memiliki anak yang juga akan terhitung sebagai tanggungannya maka jumlahnya akan ditambah Rp4.500.000, dan menjadi kode PTKP K/1 dan seterusnya.

Perlu diingat, tanggungan dibatasi hingga paling banyak tiga orang dalam satu keluarga. Karena itulah penting untuk memasukkan status perkawinan dan tanggungan dalam pelaporan pajak. Tidak jauh berbeda dengan penjelasan tentang PTKP untuk laki-laki tidak kawin atau wanita (kawin/tidak kawin) yang telah dijelaskan di atas.

Hal itu dikarenakan istri yang tidak bekerja dan tidak usaha masih dianggap menjadi tanggungan suami dalam satu keluarga tersebut, jadi perhitungannya akan sama saja dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah memahami memahami seperti apa itu cara menghitung PTKP, kamupun akan lebih mudah dalam menghitung Pajak Penghasilan atau PPh.

Jika gaji karyawan selama setahun lebih kecil atau sama besar dengan ketentuan PTKP, maka pendapatannya tidak dipotong tarif PPh 21. Namun beda halnya, jika gaji karyawan selama setahun melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak yang telah ditentukan, maka perusahaan wajib memotong PPh 21.

Bisa disimpulkan, PTKP merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang dibebaskan dari PPh Pasal 21. Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurang penghasilan neto Wajib Pajak (WP). PTKP ini bisa dikatakan sebagai dasar untuk penghitungan PPh 21. Jika penghasilan kalian tidak melebihi PTKP maka kalian tidak dikenakan pajak penghasilan Pasal 21. Sebaliknya, jika penghasilan kalian melebihi PTKP maka penghasilan neto setelah dikurangi PTKP itulah yang menjadi dasar penghitungan PPh 21.

Dalam praktiknya ketika para wajib pajak melaporkan SPT Tahunan, masih banyak diantara mereka yang belum mengetahui mengenai tarif PTKP. Padahal hal tersebut merupakan dasar yang dijadikan untuk penghitungan PPh 21. Dari Penghasilan Bruto dikurangi biaya-biaya kemudian menjadi penghasilan neto, dari penghasilan neto itu dikurangi oleh PTKP, dan akhirnya menjadi Penghasilan Kena Pajak. kalian tetap harus melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh. Ketentuan ini berlaku hingga wajib pajak memperoleh status Non-Efektif (NE) dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Beberapa informasi di atas diharapkan dapat menambah wawasan tentang Pajak Penghasilan. Dengan begitu kamu dapat mengetahui lebih jelas apa saja kewajiban dan hak sebagai wajib pajak, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya pergesekan pada gaji atau upah yang diterima. Terakhir, jangan lupa bayarlah pajak tepat waktu sebagai bentuk tanggung jawab sebagai Wajib Pajak.

Selain sadar bayar pajak, jangan lupa juga untuk sadar terhadap pentingnya asuransi. Ada beragam informasi penting terkait perencanaan keuangan dan asuransi yang hanya bisa kamu dapatkan di Qoala Apps dan Blog Qoala.